LAPORAN IPTEK
”Ada hubungan yang jauh lebih dekat antara harga pangan dan energi (dalam kurun waktu dua tahun terakhir).”(Robert B Zoellick, Presiden Bank Dunia, 19 Februari 2011)
Geger politik yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara yang memproduksi sekitar 35 persen minyak dunia sejak akhir tahun lalu, dan semakin menghangat hari-hari ini, rupanya ikut memengaruhi harga minyak. Meski sejauh ini belum tampak ada gangguan berarti dalam produksi dan pemasokan, geger yang ada sudah sempat mengerek harga minyak mentah jenis Brent hingga 102 dollar AS per barrel.
Krisis politik, ditambah dengan kekhawatiran bahwa krisis akan meluas ke Iran, juga Arab Saudi, diakui memang telah memunculkan kecemasan bahwa itu akan menimbulkan efek serius terhadap harga minyak dan ketersediaannya.
Situasi yang ada sekarang bisa dikatakan telah masuk pada ”zona bahaya”, ujar Faith Birol, ekonom kepala di Badan Energi Internasional (Steven Erlanger, IHT, 21/2).
Menurut Birol, naiknya harga minyak menimbulkan tekanan inflasi dan mengancam pemulihan ekonomi.
Tentang hubungan harga minyak dan pangan yang makin terkait, seperti disinggung pada awal tulisan ini, alasannya bisa ditemukan pada biofuel. Bahan bakar bio ini makin banyak dibutuhkan saat harga minyak tinggi dan pengadaannya membuat lahan pertanian yang digunakan untuk menanam tanaman pangan menyempit. Namun, selain yang terkait dengan pengadaan bahan bakar bio, harga pangan juga ikut naik karena berbagai produksinya membutuhkan minyak, seperti untuk membuat pupuk, transportasi, dan penggunaan peralatan pertanian.
Krisis membayang
Dikaitkan dengan banyaknya gangguan cuaca ekstrem, melambungnya harga minyak membuat ancaman krisis pangan makin nyata. Ya, seperti dikatakan Ker Chung Yang, analis investasi di Phillip Futures (The Business Times, 21/2), sekarang ini kita tengah menghadapi krisis pangan lagi—yang kedua dalam tiga tahun ini.
Permintaan tinggi di China, India, dan negara-negara lain yang pertumbuhannya baik, tak dimungkiri, ikut menaikkan permintaan akan pangan, khususnya daging dan bahan lain untuk mendukung produksinya. Karena lahan juga dialihfungsikan untuk produksi daging, produksi serealia yang juga dibutuhkan manusia pun ikut turun.
Pada sisi lain, tidak sedikit hasil biji-bijian yang tidak digunakan untuk pangan, tetapi untuk membuat etanol yang digunakan untuk bahan bakar mobil. Dari 416 juta ton produksi biji-bijian Amerika Serikat pada 2009, sebanyak 119 juta ton digunakan untuk membuat etanol. Ini setara dengan pangan yang bisa untuk memberi makan 350 juta orang selama satu tahun.
Tren serupa diamati untuk wilayah Eropa yang membutuhkan banyak minyak diesel yang dihasilkan dari tanaman, khususnya dari kelapa sawit. Hal ini, seperti juga disinggung di atas, membuat lahan pertanian untuk tanaman pangan menciut.
Jadi, kalau harga minyak bertahan tinggi, atau terus membubung, harga pangan pun akan ikut terkerek naik. Dan, kita tahu bahwa faktor minyak baru satu di antara faktor lain yang ada. Faktor lain yang dominan tidak lain adalah cuaca. Pada 2010, ada La Nina yang secara umum menghasilkan musim panas yang basah. Namun, kita juga ingat, di Rusia ada kekeringan hebat yang membuat terjadinya kebakaran besar yang juga merusakkan panen biji-bijian. Hal itu, seperti disinggung Ker, membuat Rusia mengurungkan ekspor, kebijakan yang juga sempat mengguncangkan pasar global.
Kaji ulang kebijakan
Menyimak perkembangan di atas, wajar jika lalu muncul pertanyaan, ”Jadi, dunia segera dilanda kelangkaan pangan?” Peter Timmer, Guru Besar Emeritus Bidang Studi Pembangunan Universitas Harvard, bisa menjawab cepat bahwa yang akan langka adalah ”pangan murah”. Namun, potensi suplai pangan sendiri sebenarnya masih besar.
Problem muncul karena banyak pemerintah mengabaikan upaya riset pertanian, selain investasi di infrastruktur pedesaan serta pelatihan untuk petani kecil guna mendorong ke arah produksi lebih tinggi (The Wall Street Journal, 22/2).
Menarik bahwa riset pembangunan infrastruktur pedesaan dan pelatihan petani agar lebih mampu meningkatkan tingkat produksi merupakan faktor mendasar dalam soal ini. Dalam kaitan ini pula apa yang disampaikan mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla dalam seminar tentang kemiskinan yang diselenggarakan harian Kompas di Jakarta, Senin (21/2), terasa relevansinya.
Kalla meyakini, apa yang dilakukan di lembaga penelitian pertanian di Subang untuk benih padi atau di Pasuruan untuk gula memang besar peranannya guna peningkatan produksi. Pesannya jelas, kalau di sini produksi padi per hektar baru 5 ton, sedangkan di tempat lain bisa 8 ton, berarti yang membedakan memang cara berproduksi yang lebih memanfaatkan benih lebih unggul dan cara tanam serta manajemen lebih canggih.
Jangan diulang kembali apa yang dikemukakan oleh Peter Timmer bahwa apa yang sekarang ini dialami adalah karena kelalaian dalam riset. Di Afrika Sub-Sahara, riset pertanian tak pernah mengalami kenaikan anggaran antara pertengahan 1980-an dan pertengahan 1990-an, sedangkan di Asia yang lebih makmur kenaikan hanya 5 persen per tahun. Ada kenaikan produksi di Asia dan hasilnya tentu jauh antara Asia dan Afrika. Namun, kenaikan 5 persen di tengah tantangan yang makin besar belum mencukupi.
Apa yang disampaikan oleh mantan Wapres di atas seiring dengan pandangan yang berorientasi jangka panjang dan fundamental. Tentu masalah mendesak diatasi dengan langkah cepat. Namun, di tengah realitas bahwa lahan pertanian akan menyusut dari waktu ke waktu—baik untuk pembangunan permukiman maupun tanaman bahan bakar—respons yang masuk akal adalah dengan menaikkan tingkat produksi pada lahan yang menciut. Tak bisa lain, di sini yang amat menentukan adalah riset benih dan teknik tanam yang lebih unggul.[NINOK LEKSONO]
Responses
0 Respones to "Krisis Pangan-Minyak dan Riset Ilmiah"
Posting Komentar