"Kami hanya bisa ambil penilaian dari waktu karena berat pesawat sudah maksimal," kata Anggoro, pilot pesawat yang terbuat dari bahan campuran
styrofoam dan plastik. Pesawat ciptaan tim Glorius ini berasal dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
Lain halnya dengan pesawat Masa #1 buatan tim alumni Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Pesawat yang suara baling-balingnya nyaris tak terdengar ini berhasil menjatuhkan beras dalam bungkus plastik seberat 15 gram di bidang merah lingkaran. Tak pelak, penonton dan puluhan peserta Indonesian Indoor Aerial Robot Contest 2011 bertepuk tangan.
Lomba pesawat model buatan sendiri itu berlangsung di kampus ITB pada Rabu pekan lalu. Kontes tahunan sejak 2008 yang digelar Himpunan Mahasiswa Teknik Penerbangan serta Program Studi Aeronotika dan Astronotika ITB tersebut menarik minat 33 tim peserta. Panitia membagi kategori untuk pelajar SMA sederajat, perguruan tinggi, dan kalangan umum.
Setiap tim maksimal beranggotakan empat orang. Mereka berbagi tugas sebagai pengendali atau pilot lewat remote control, co-pilot yang memandu penerbangan dan menjatuhkan muatan berukuran 50 x 30 x 20 milimeter di target sasaran, sisanya sebagai teknisi pesawat.
Mereka mendapat jatah 2 menit untuk persiapan di landasan, dan terbang selama 5 menit. Misinya adalah menjatuhkan muatan pada tiga target sasaran. Pesawat bisa bolak-balik mengambil muatan atau dibawa sekaligus untuk dijatuhkan. Umumnya peserta mengambil cara pertama. Ada yang tuntas, ada pula yang tak berhasil menjatuhkan muatan hingga waktu habis.
Aturan lomba kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kini pesawat tak lagi menjalankan misi sebagai alat pengintai (surveillance), melainkan pembawa barang dan menjatuhkannya ke target sasaran.
Pemain dan penonton boleh saja mengartikannya sebagai pesawat pengebom. Sebab, seluruh pesawat dirancang memakai sayap laiknya pesawat tempur. Adapun desain yang memakai sayap lebar mirip pesawat siluman. Tentu saja semuanya tetap memakai baling-baling di moncongnya agar bisa mengudara.
Perubahan regulasi itu, kata ketua panitia Yuhusa Setyo, dilakukan karena banyak kamera kecil yang rusak pada lomba serupa tahun lalu akibat terjatuh dari badan pesawat peserta lomba. Kamera tersebut dipakai sebagai alat pengintai. Hasil penglihatan pesawat tersebut kemudian harus "dibaca" oleh anggota tim lainnya lewat tampilan di layar monitor, kemudian dituliskan. "Regulasi lomba sekarang mengadopsi aturan dari Japan Society of Aeronautics and Space Sciences," ujarnya.
Berat pesawat dibatasi tak lebih dari 200 gram. Aturan lomba membebaskan dimensi dan bahan pesawat, seperti dari batang karbon, styrofoam, plastik pembungkus buah di supermarket, atau kayu balsa. Keringanan pesawat nantinya dihitung bersama lama terbang, massa pesawat, nilai target, serta berapa kali pesawat jatuh (crash). Take off dilakukan lewat landasan, bukan dilepas oleh tangan co-pilot, karena masuk hitungan.
Area terbang pesawat berukuran panjang 30 meter, lebar 25 meter, dan tinggi 10 meter. Di sekeliling arena dipasangi jaring. Jika pilot kurang awas dan terampil, pesawat bisa tersangkut. Meski begitu, masih ada segelintir pesawat yang selamat dari jaring dan masuk kembali ke arena karena terbang di ketinggian lebih dari 10 meter.
Di dalam arena, dipasang juga rintangan tiga gunung. Bentuknya masing-masing berupa kerangka bambu sepanjang 5 meter berbentuk segitiga yang dilapisi jaring setinggi 1,5 meter. Dari atas, rangkaian gunung itu berbentuk huruf Y.
Di balik rintangan gunung itu, terdapat tiga lingkaran target. Lingkaran terluar berwarna merah yang bergaris tengah 2 meter bernilai 50. Lingkaran kedua di dalamnya yang berwarna kuning dan bergaris tengah 1 meter bernilai 75.
Lingkaran target utama di tengah yang berwarna biru memiliki nilai sempurna 100. "Penilaian juri pada posisi terakhir benda yang dijatuhkan di lingkaran target," kata mahasiswa Jurusan Aeronatika dan Astronotika ITB 2008 tersebut.
Tantangan terberat berada di tangan pilot. Selain harus berkonsentrasi penuh untuk menerbangkan pesawat dengan kecepatan lambat seperti orang berjalan dan manuver, pilot harus sigap menjatuhkan muatan saat berada di atas target. "Susahnya di situ, saya terlalu berfokus ke terbang, jadinya susah dropping," kata Rizki Indra Pratama, 16 tahun, salah seorang peserta.
Menurut Yuhusa, peluang meraih target lebih besar jika pesawat bisa terbang dengan kecepatan pelan. Cara itu memerlukan kondisi pesawat yang stabil. "Rentang pesawat yang sayapnya panjang lebih stabil, tapi jadi agak susah dikontrol sehingga, kalau belok, tidak bisa langsung," katanya.
Adapun bahan pesawat masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Pesawat ringan tapi harga pembuatannya mahal bisa terwujud dengan memakai lembaran plastik dan batang karbon sebagai rangka. Bahan styrofoam, kata Yuhusa, agak susah dibentuk tapi sangat murah. Adapun kayu balsa lebih rumit. Namun strukturnya bisa mirip seperti pesawat sungguhan.
Setelah bertarung dari pagi hingga sore, gelar juara kategori SMA akhirnya diraih SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo. SMA 1 Denpasar dan SMA 14 Bandung berbagi tempat sebagai runner-up dan pemenang ketiga. Tim Masa #1 menyandang juara pertama kategori umum, sedangkan tim Glorius meraih juara kedua, dan Garuda Team 3 ada di peringkat ketiga.
Di kelompok perguruan tinggi, juara pertama dan kedua jatuh ke tim asal Universitas Kristen Maranatha, Bandung, yaitu Garuda 1 dan Moon. Tim Garuda 2 dari Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya, harus puas di tempat ketiga.
Dewan juri juga memilih Andre Wibowo dari tim Leviosa asal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sebagai pilot terbaik; tim Masa #1 meraih penghargaan untuk presentasi terbaik; dan pesawat Srikandi V2 milik tim Inhuman asal Teknik Penerbangan ITB mendapatkan desain pesawat terunik. "Selain untuk menyalurkan hobi dan belajar, lomba ini untuk ajang praktek menerapkan teori kuliah," kata Yuhusa.(ANWAR SISWADI)
• TEMPOInteraktif Label: ITB
Responses
0 Respones to "Adu Tangkas Pesawat Model di Kampus ITB"
Posting Komentar