Jakarta - Kertas putih itu menempel di billboard kecil di stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), Pancoran, Jakarta Selatan. Tertulis dengan huruf yang besar di kertas itu, “Maaf SPBG Ini Sementara Ditutup”. Di bagian bawahnya ada penjelasan bahwa penutupan ini karena ada permasalahan administrasi dan teknis operasional.
Penutupan SPBG kendaraan berbahan bakar gas, seperti Transjakarta, bajaj, dan mikrolet, itu dilakukan sejak medio Oktober lalu. Bus Transjakarta yang kerap datang antara lain angkutan dari koridor V jurusan Ancol-Kampung Melayu (50 unit), dan koridor IX jurusan Pinangranti-Pluit (90 unit). "Penutupan SPBG ini memperburuk kondisi yang ada,” kata Muhammad Akbar, Kepala Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta akhir pekan lalu.
Akbar patut waswas karena kini hanya tersisa empat SPBG di Jakarta, yaitu di Pinangranti, Jalan Pemuda, Kampung Rambutan, semuanya di Jakarta Timur, lalu Pesing, Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Sedangkan SPBG di Pluit, Jakarta Utara, sejak tahun lalu tidak beroperasi lagi. Padahal, saat ini ada 460 unit bus Transjakarta yang menggunakan bahan bakar gas, sisanya, 90 unit menggunakan solar.
Menurut Sri Ulina, juru bicara Transjakarta, dalam sehari, satu unit bus mengisi dua kali tangki gasnya. Bisa dibayangkan, ujarnya, antrean bus di SPBG makin mengular. Situasi ini sudah darurat karena sangat mempengaruhi operasional bus. “Buntutnya, kedatangan bus ke halte terlambat dan waktu tunggu penumpang lebih lama,” kata dia.
Kondisi ini bakal kian parah karena Gubernur Jakarta Joko Widodo berencana menambah unit angkutan baru. “Saya sudah perintahkan Kepala Dinas Perhubungan, tahun ini kira-kira 200-an unit bus. Tahun depan 300 sampai 400 tambahannya," kata Jokowi di Balai Kota dua pekan lalu.
BLU Transjakarta sendiri sudah memesan 66 unit bus dengan bahan bakar gas yang akan dioperasikan bulan depan. Gas dipilih karena lebih murah ketimbang solar. Harga gas Rp 3.100/LSP (liter setara premium), sedangkan solar Rp 4.500 per liter. Dibandingkan dengan bensin atau solar, biaya produksi BBG tidak lebih dari separuhnya.
Emisi BBG juga lebih rendah dibanding BBM. Dari segi dampak lingkungan dan emisi, BBG lebih bersahabat dibanding BBM. Emisi karbon monoksida dan dioksida dari BBG adalah setengah dan lebih kecil 15% dari pemakaian BBM. BBG juga mengeluarkan lebih sedikit benzena, mengeluarkan 30 ribu kali lebih sedikit partikel dan nitrogen oksida (Nox) daripada BBM.
Namun, minimnya jumlah SPBG dan pasokan gas di Jakarta membuat mereka berpikir ulang. Apalagi pada 30-31 Agustus 2012 stasiun gas di Kampung Rambutan sempat tidak beroperasi. Manajemen Transjakarta langsung membuat pengumuman yang menjelaskan keterlambatan datangnya bus di halte. Ternyata PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menghentikan pasokan gas ke SPBG yang dikelola PT Petrogas Bagus Andhika. Alasannya, telah melampaui kuota maksimum bulanan.
Pada 2008, PGN juga mengancam menghentikan pasokan gas ke dua SPBG yang dikelola PT Petrogas. Perusahaan gas milik pemerintah itu marah karena PT Petrogas menunggak pembayaran selama setahun, yakni senilai Rp 10,6 miliar. PT Petrogas berdalih piutang mereka Rp 15 miliar belum dibayar oleh Pemerintah Provinsi Jakarta. Urusan bayar-membayar ini akhirnya tuntas setelah DPR dan kementerian campur tangan.
“Pemerintah tidak serius membangun transportasi berbasis bahan bakar gas,” kata Ketua Dewan Transportasi Jakarta Azas Tigor Nainggolan. Tahun lalu, lembaganya sudah merekomendasikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Pertamina agar secepatnya memperbesar distribusi gas untuk angkutan umum di Jakarta.
Ketika itu, menurut Tigor, pemerintah berjanji akan membangun SPBG yang baru, mengaktifkan kembali yang tidak beroperasi, serta menggunakan SPBG bergerak. Sebagai timbal balik, Pemerintah Provinsi Jakarta bersedia memberi kemudahan izin pendirian stasiun bahan bakar gas kepada perusahaan swasta. Seperti bait lagu populer, “janji-janji tinggal janji”.
Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 guna mewujudkan janji itu bakal kandas. Dalam dokumen negara ini terdapat alokasi dana guna membangun infrastruktur CNG (compressed natural gas atau gas alam terkompresi) sebesar Rp 2 triliun. Biaya ini guna membuat 3 SPBG di Jakarta, 14 SPBG online, 5 SPBG bergerak, serta 14 stasiun induk dan cabang. Tidak lupa pula membangun mobile storage, trailer chassis, head truck, dan sistem pengelolaan gas.
Agustus lalu, Pertamina telah melakukan tender tiga SPBG di Pulogadung, Kalideres, dan Cililitan. Pekan ini akan diumumkan pemenangnya. Tampaknya proyek ini akan status quo. Maklum, kalau mengikuti proses normal, perusahaan pemenang baru mendapat dana pada Desember.
Meskipun dikebut, pembangunan baru akan selesai dua atau tiga bulan lagi. Jika sampai Maret belum selesai, mereka akan kena denda 5 persen. Tak akan ada perusahaan yang berminat. Kabarnya, tender akan diumumkan, namun tidak dilakukan pengerjaannya. Proyek lain yang jumlah keseluruhan biayanya senilai Rp 2 triliun juga bakal mangkrak.
“Penyebabnya karena mekanisme penganggaran,” kata Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir. Tak ada pejabat di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral yang berani ambil keputusan dalam masalah ini. Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga BBG untuk Transportasi Jalan, kementerian ini yang jadi motornya. Peraturan itu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Juni 2012.
Keseriusan pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar gas bagi alat transportasi juga tak tampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013. Pada rapat Badan Anggaran DPR 2 Oktober lalu, usulan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur SPBG senilai Rp 1,5 triliun dipangkas jadi Rp 450 miliar. Tak jelas peruntukan dana Rp 450 miliar itu. Begitu pula dengan tidak adanya rencana proyek mempercepat konversi kendaraan umum dari bahan bakar minyak ke BBG.
Padahal Pertamina, Perusahaan Gas Negara, Medco, PHE ONWJ, dan Talisman sudah membuat komitmen memasok gas bagi transportasi BBG Jakarta dan sekitarnya, sebesar 23,1 juta kaki kubik (MMSCFD) tiap harinya. Sedangkan jumlah kebutuhan tiap harinya mencapai 27,1 MMSCFD. “Jaringan pipa kami tersebar di jalan utama dan pinggir kota, silakan dimanfaatkan oleh perusahaan yang mau membangun SPBG,” kata Head of Corporate Communication PGN, Ridha Ababil.
Pertamina mulai membangun SPBG di Kalideres dengan dana sendiri. Ali Mundakir menjelaskan, stasiun pengisian itu akan diresmikan pada Desember nanti. “Kami sudah membuat rencana percepatan konversi kendaraan umum secara bertahap dalam skala nasional,” kata dia. Rencana ini mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 19 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Bahan Bakar Gas yang Digunakan untuk Transportasi.
Sayangnya, rencana yang dibuat Pertamina tersebut tak jelas kelanjutannya di tangan regulator. “Pemerintah memang tidak memiliki blueprint penggantian bahan bakar minyak ke bahan bakar gas,” kata Wakil Direktur ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro.
Menurut dia, ketika konversi minyak tanah ke gas elpiji tiga kilogram pada 2006, pemerintah memiliki blueprint. Belum lagi soal uji coba selama enam bulan.
Karena itu, Komaidi mempertanyakan landasan dan kajian atas keluarnya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2012 padahal belum memiliki blueprint. Namun, dia tidak heran jika pemerintah tidak ngotot mendanai pembangunan infrastruktur SPBG pada APBN 2012 dan 2013.[UNTUNG WIDYANTO]
© Tempo
Label:
Energi
Responses
0 Respones to "Jalan Berliku Konversi BBG"
Posting Komentar