Pembangunan Infrastruktur
Jakarta � Indonesia, khususnya Pemerintah DKI Jakarta, belum siap dengan proyek mass rapid transit (MRT) atau kereta bawah tanah (KBT). Perilaku dan sikap masyarakat yang kurang menghargai dan ceroboh dalam memelihara fasilitas publik bisa mendorong proyek angkutan massal bawah itu bermasalah di kemudian hari.
"Mau pakai teknologi apa pun, bila tidak mampu merawat, akan berbahaya. Negara sekaliber Jepang saja, yang rakyatnya sangat disiplin, masih menemukan persoalan terkait dengan prasarana angkutan massal bawah tanah," kata pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, di Jakarta, Minggu (2/12).
Seperti diberitakan, terowongan Sasago di Prefektur Yamanishi, sekitar 80 kilometer sebelah barat Tokyo, ambruk, Minggu (2/12) pagi. Sejumlah orang dan mobil diperkirakan terperangkap di dalam terowongan itu. Sejauh ini, petugas penyelamat telah menemukan lima korban tewas.
Proses penyelamatan harus dilakukan ekstrahati-hati karena para ahli memperkirakan akan ada runtuhan susulan. Diduga masih banyak kendaraan yang tertimbun atap beton yang mencapai bobot 1,5 ton tersebut.
Agus mengakui bahwa MRT memang sangat pas untuk mengatasi kemacetan di kota-kota besar, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah konsep tersebut cocok untuk DKI Jakarta. Ada sejumlah faktor yang harus diperhatikan Pemprov DKI dalam membangun proyek MRT. Pertama, masalah pendanaan. Kedua, kondisi geografis DKI Jakarta. Ketiga, perilaku masyarakat dan pengguna transportasi. Bila kita belum siap dengan tiga faktor itu, sebaiknya diurungkan dulu niat membangun angkutan massal bawah tanah dan mencari pola lain yang lebih cocok.
Skala Prioritas
Untuk masalah pendanaan, Agus meragukan kemampuan APBD DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, megaproyek itu akan menyedot lebih dari separo APBD DKI yang pada tahun 2012 mencapai 36,023 triliun rupiah. Diperkirakan megaproyek MRT itu akan menelan biaya 16 triliun rupiah.
"Pak Joko Widodo harus punya skala prioritas. Saya mengusulkan sebaiknya dana tersebut digunakan untuk menanggulangi tingkat kemiskinan warga Jakarta yang tinggi serta mengatasi berbagai masalah Jakarta yang tak kunjung usai seperti perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan, yang selama ini selalu didengungkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, saat kampanye beberapa waktu lalu," tegas Agus.
Sementara itu, pengamat transportasi, Darmaningtyas, mengusulkan agar Jokowi lebih fokus menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas Jakarta sebelum lebih jauh memikirkan soal MRT.
"Saya kan sudah usulkan saat di depan Pak Jokowi. Saya bilang dua tahun pertama Pak Jokowi harus lebih fokus menyelesaikan kemacetan Jakarta dengan menambah 15 koridor busway serta menambah armada busway," ujar Darmaningtyas.
Darmaningtyas mengingatkan proyek MRT ini merupakan ujian bagi Gubernur DKI Jakarta. Bila Jokowi tidak berani membatalkan proyek angkutan massal bawah tanah tersebut, itu artinya Jokowi masih tersandera utang poltik dengan partai yang mencalonkannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Saat ini, Pemda DKI masih mengaji perlu atau tidaknya proyek MRT tersebut direalisasikan. Tahap satu, tender lorong MRT Al Azhar-HI, sudah siap dijalankan. Namun, tahap itu bisa dimulai jika Gubernur DKI Jakarta menyetujui proyek MRT dan persoalan dengan warga Fatmawati sudah selesai dimediasi.
Selain itu, Pemda DKI kurang setuju dengan komposisi beban pembayaran utang (return of investment) yang telah disepakati sebelumnya, yakni 48:52 untuk DKI Jakarta. Jokowi menginginkan komposisi beban pembayaran utang itu diubah menjadi 30:70 untuk DKI Jakarta.
Jokowi berencana merenegosiasi ROI itu dengan Kemenkeu. Negosiasi juga dilakukan dengan kreditor JICA terkait perjanjian yang mengharuskan semua peralatan, barang, dan alat berasal dari Jepang.
"Semuanya kita negosiasikan ulang, mulai dari komposisi beban pembayaran utang sampai kontraktor dan barang-barang yang semuanya dari Jepang," ujar Jokowi saat menghadiri acara RT/RW se-Jakarta di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (2/12).[fdl/mza/frn/P-4]
"Mau pakai teknologi apa pun, bila tidak mampu merawat, akan berbahaya. Negara sekaliber Jepang saja, yang rakyatnya sangat disiplin, masih menemukan persoalan terkait dengan prasarana angkutan massal bawah tanah," kata pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, di Jakarta, Minggu (2/12).
Seperti diberitakan, terowongan Sasago di Prefektur Yamanishi, sekitar 80 kilometer sebelah barat Tokyo, ambruk, Minggu (2/12) pagi. Sejumlah orang dan mobil diperkirakan terperangkap di dalam terowongan itu. Sejauh ini, petugas penyelamat telah menemukan lima korban tewas.
Proses penyelamatan harus dilakukan ekstrahati-hati karena para ahli memperkirakan akan ada runtuhan susulan. Diduga masih banyak kendaraan yang tertimbun atap beton yang mencapai bobot 1,5 ton tersebut.
Agus mengakui bahwa MRT memang sangat pas untuk mengatasi kemacetan di kota-kota besar, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah konsep tersebut cocok untuk DKI Jakarta. Ada sejumlah faktor yang harus diperhatikan Pemprov DKI dalam membangun proyek MRT. Pertama, masalah pendanaan. Kedua, kondisi geografis DKI Jakarta. Ketiga, perilaku masyarakat dan pengguna transportasi. Bila kita belum siap dengan tiga faktor itu, sebaiknya diurungkan dulu niat membangun angkutan massal bawah tanah dan mencari pola lain yang lebih cocok.
Skala Prioritas
Untuk masalah pendanaan, Agus meragukan kemampuan APBD DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, megaproyek itu akan menyedot lebih dari separo APBD DKI yang pada tahun 2012 mencapai 36,023 triliun rupiah. Diperkirakan megaproyek MRT itu akan menelan biaya 16 triliun rupiah.
"Pak Joko Widodo harus punya skala prioritas. Saya mengusulkan sebaiknya dana tersebut digunakan untuk menanggulangi tingkat kemiskinan warga Jakarta yang tinggi serta mengatasi berbagai masalah Jakarta yang tak kunjung usai seperti perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan, yang selama ini selalu didengungkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, saat kampanye beberapa waktu lalu," tegas Agus.
Sementara itu, pengamat transportasi, Darmaningtyas, mengusulkan agar Jokowi lebih fokus menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas Jakarta sebelum lebih jauh memikirkan soal MRT.
"Saya kan sudah usulkan saat di depan Pak Jokowi. Saya bilang dua tahun pertama Pak Jokowi harus lebih fokus menyelesaikan kemacetan Jakarta dengan menambah 15 koridor busway serta menambah armada busway," ujar Darmaningtyas.
Darmaningtyas mengingatkan proyek MRT ini merupakan ujian bagi Gubernur DKI Jakarta. Bila Jokowi tidak berani membatalkan proyek angkutan massal bawah tanah tersebut, itu artinya Jokowi masih tersandera utang poltik dengan partai yang mencalonkannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Saat ini, Pemda DKI masih mengaji perlu atau tidaknya proyek MRT tersebut direalisasikan. Tahap satu, tender lorong MRT Al Azhar-HI, sudah siap dijalankan. Namun, tahap itu bisa dimulai jika Gubernur DKI Jakarta menyetujui proyek MRT dan persoalan dengan warga Fatmawati sudah selesai dimediasi.
Selain itu, Pemda DKI kurang setuju dengan komposisi beban pembayaran utang (return of investment) yang telah disepakati sebelumnya, yakni 48:52 untuk DKI Jakarta. Jokowi menginginkan komposisi beban pembayaran utang itu diubah menjadi 30:70 untuk DKI Jakarta.
Jokowi berencana merenegosiasi ROI itu dengan Kemenkeu. Negosiasi juga dilakukan dengan kreditor JICA terkait perjanjian yang mengharuskan semua peralatan, barang, dan alat berasal dari Jepang.
"Semuanya kita negosiasikan ulang, mulai dari komposisi beban pembayaran utang sampai kontraktor dan barang-barang yang semuanya dari Jepang," ujar Jokowi saat menghadiri acara RT/RW se-Jakarta di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (2/12).[fdl/mza/frn/P-4]
Responses
0 Respones to "Indonesia Belum Siap Angkutan Massal Bawah Tanah "
Posting Komentar