Medium yang penggunanya dianggap kurang beretika tersebut adalah Social Networking (52%) dan Chatroom (21%). Adapun medium yang penggunanya dianggap sudah beretika yakni Forum (35%) dan Wiki (28%).
"Saat ditanyakan tentang acuan etika online yang khas (dirumuskan) oleh orang Indonesia? Mayoritas dari responden, 69% berpendapat bahwa acuan tersebut perlu tetapi belum ada hingga saat ini," kata ketua pengurus ICT Watch Donny B.U. melalui keterangannya, Jumat (9/9/2011).
Setidaknya, hasil survei yang diikuti 475 responden di minggu pertama September 2011 ini sekilas memberikan gambaran mengenai pengguna internet di Indonesia.
Bersamaan hasil survei tersebut, sejumlah perwakilan komunitas dari berbagai daerah dan latar belakang direncanakan akan berkumpul dan berdiskusi di Jakarta pada Jumat (16/9/2011). Para perwakilan komunitas tersebut akan merumuskan suatu draf deklarasi bersama yang dapat menjadi acuan etika online khas Indonesia.
"Adapun konsep acara diskusi berupa focus group discussion. Yang input, proses dan outputnya dari, oleh dan untuk komunitas. ICT Watch hanya sebagai fasilitatornya saja," jelas Donny.
Perwakilan komunitas tersebut adalah para penggerak atau penggiat di ranah online seperti komunitas blogger dari Bertuah Palembang, Wongkito Pekanbaru, Sumut Medan, Beleter Pontianak, Arumbai Ambon, Ambon Bergerak, Flobamora Ende, AnggingMammiri Makassar, Bali Blogger Denpasar, Plat-M Madura, TPC Surabaya, Angkringan Jogja, Joglo Abang Jogja, Bengawan Solo, Loenpia Semarang, dotS Semarang, Ngalam Malang, CommonRoom Bandung, BlogVaganza Bandung, Bloggor Bogor, dBlogger Depok, Amprokan Bekasi, Obrolan Langsat dan Akademi Berbagi Jakarta.
Selain itu akan ada pula perwakilan dari JalinMerapi, Karya Tuna Netra, KasKus, Relawan-TIK, Komunitas Detik, Yayasan Air Putih, Yayasan Satu Dunia, Yayasan Wiki Indonesia, Komunitas Arus Pelangi, idBlogNetwork dan gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK).
Karena keterbatasan sumber daya, maka memang tidak semua perwakilan dari seluruh komunitas yang ada di Indonesia dapat diundang untuk hadir dalam diskusi nanti. Meski demikian, diskusi akan dapat disimak secara live di Internet melalui fasilitas video streaming. Sehingga siapapun dan darimanapun yang terkoneksi ke Internet bisa mengikuti dan berpartisipasi dalam diskusi tersebut nantinya.
Diharapkan dengan keberagaman peseta pada inisiatif diskusi di atas, draf deklarasi yang akan ditelurkan nanti tidak Jakarta-sentris ataupun Jawa-sentris. Pun peserta yang dilibatkan juga berupaya menjembatani suara rekan-rekan yang heterogen, semisal dari komunitas tuna netra, LGBT dan aktifis pemberdayaan perempuan.
Adapun tujuan besar dari penyusunan draf deklarasi ini, selain agar kita memiliki acuan etika online yang adaptable, adjustable dan doable untuk konteks Indonesia, juga untuk menunjukkan bahwa nettizen Indonesia mampu mengatur dirinya sendiri (self-regulated) dalam beraktifitas di ranah maya.
Acara diskusi yang akan diselenggarakan di Hotel Harris Tebet tersebut juga akan mendapatkan pengayaan materi dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), HIVOS, praktisi hukum dan praktisi media baru. Selain itu, akan ada sesi khusus dari Google Asia Pacific yang akan berbagi tentang best practices kebebasan berekspresi online dan berpendapat di ranah maya pada sejumlah negara.( rns / ash )
• detikInet Label: Internet
Responses
0 Respones to "Etika Berinternet, Perlukah?"
Posting Komentar