Bandung � Peran sains dan teknologi sangat besar bagi kemajuan suatu bangsa. Ini dibuktikan dengan Jepang, China, atau Korea Selatan, yang berhasil melakukan lompatan dari negara agraris menjadi negara industri berteknologi tinggi.
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmaloka menyebut penguasaan sains dan teknologi sebagai keniscayaan jika ingin Indonesia maju.
"Banyak fakta sejarah yang menegaskan bahwa negara tak mungkin bisa maju kalau tidak mengembangkan sumber daya manusia (SDM)-nya di bidang sains dan engineering," kata Akhmaloka, saat berbincang dengan Okezone, di Gedung Rektorat ITB, belum lama ini.
Namun untuk menjadi negara yang unggul di bidang sains dan teknologi, Indonesia masih memiliki banyak kendala. Saat ini kegiatan sains dan teknologi sangat sedikit. Berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang jumlahnya jauh lebih banyak. Padahal pengembangan ilmu sosial dan ilmu sains sama pentingnya. Dua displin ilmu ini memerlukan porsi yang sama banyaknya. Indonesia, kata Akhmaloka, harus lebih banyak lagi bergerak di bidang sains dan teknologi.
Minimnya pengembangan sains dan teknologi ini berdampak pada kurangnya kegiatan riset. Jumlah riset di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain misalnya dengan negara tetangga saja seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
"Spirit untuk melakukan riset masih perlu ditingkatkan. Sehingga negara ini bisa dibangun atas dasar kemampuan sains dan teknologi untuk bisa melakukan inovasi," kata pria asli Cirebon itu.
Menurutnya, tanpa ada sumber daya yang baik, ilmu sains dan teknologi yang ada saat ini tidak akan berkembang dengan baik pula. Sehingga Indonesia, termasuk ITB, harus bekerja keras untuk membangun sumber daya, khususnya SDM sains dan teknologi.
Penyuka novel sejarah ini menyayangkan, kondisi sains dan teknologi saat ini belum memungkinkan untuk menghasilkan produk yang bisa mengubah tatanan ekonomi masyarakat Indonesia. Dia tidak menampik, memang tidak mudah untuk menghasilkan produk riset yang bisa berdampak pada ekonomi masyarakat.
Akhmaloka menuturkan, untuk bisa menghasilkan satu produk riset yang berdampak itu minimal kita harus bisa menghasilkan 100 produk riset yang bisa diaplikasikan. Sedangkan untuk mengaplikasikan satu produk riset yang teraplikasikan perlu 100 paten. Untuk menghasilkan paten, perlu 100 publikasi karya ilmiah berbasis riset. Jadi untuk satu produk riset yang berdampak ekonomi, diperlukan jutaan paten yang terbangun dari puluhan juta publikasi internasional.
Menurutnya, kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kemampuan ITB. Saat ini, paten yang dihasilkan kampus teknik tertua di Tanah Air itu dalam satu tahun bisa dihitung dengan jari, paling banyak 10 paten. Sehingga sangat sulit untuk mengharapkan ada paten yang teraplikasikan dan berdampak pada ekonomi.
"Jika jumlah paten yang teraplikasinya sedikit jangan harap ada produk paten yang bisa berdampak ekonomi," imbuhnya.
Saat ini ITB sedang gencar-gencarnya mepublikasikan karya ilmiah mereka secara internasional. Ketika masih menjadi Dekan Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), publikasi internasional ITB hanya 200 sampai 300 jurnal per tahunnya. Lalu pada 2012 mulai meningkat menjadi 800-an jurnal. Tahun ini dia optimistis bisa tembus 1.000 publikasi internasional. Akhmaloka sendiri sudah menerbitkan 40-an jurnal ilmiah yang ada di Scopus.
ITB, kata Akhmaloka, memiliki 1.100 dosen yang mengajar di fakultas atau sekolah teknik yang ada. Dia menargetkan, minimal seorang dosen ITB bisa mempublikasikan satu karya per tahunnya. Kebiasaan mempublikasikan karya ilmiah ini diharapkan bisa menghasilkan puluhan paten yang teraplikasikan di masyarakat.
"Makin banyak paten yang diaplikasikan ada dampak ekonomi yang luar biasa. Seperti Apple atau Macintosh, secara ekonomi kan luar biasa itu dampaknya," kata rektor yang juga pakar molekular genetik ini.(rfa)
• Okezone
Responses
0 Respones to "Rektor ITB Mimpi Ciptakan Produk Seperti Apple"
Posting Komentar